Rabu, 29 Januari 2014

CERPEN ; SEBATAS SENYUMAN



Pagi yang dingin. Angin semilir membelai rambutku dan menggelitik tengkukku. Rasanya aku tak ingin lepas dari selimutku,namun apa daya, kewajibanku sebagai pelajar menuntutku untuk bergegas ke sekolah.

Sesampainya di gerbang sekolahku, aku kembali menyeret kakiku, berjalan lurus lalu belok kanan menuju koridor. Melihat perpustakaan dikanan koridor membuatku ingat akan buku sejarah yang belum kukembalikan. Aku terus berjalan menyusuri koridor, dan sampailah aku di depan kelasku. Tepat di sebrang musholla sekolah.

" Selamat pagi " ucapku seraya memasuki kelas
" Selamat pagi juga eby "
ucap elisa  yang duduk di atas meja terdepan barisan paling kanan dengan riang. Kubalas dengan senyum simpul

Aku menghampiri tempat dudukku dengan memaki jaketku. Kondisi dinding kelas ini kelas XI IPS-1 agak lembab, mungkin itu yang menyebabkan hawa kelas ini menjadi dingin. Aku melipat tanganku di atas meja dan membenamkan kepalaku disana. Walaupun hawanya dingin, aku merasa aliran darah disekitar wajahku mendidih. Aku paling benci kalau dia bersikap seperti itu. Sikapnya yang sangat menyebalkan, sok baik, sok keren, sok dekat, dan sikapnya itu menimbulkan kesalahpahaman terbesar. Ya, dia Vian.
Dia suka padaku

Parah. Bagaimana bisa aku berpikir seperti itu? Habis, dianya bersikap begitu, mentang-mentang tempat dudukku dibelakangnya, dia jadi sering mengobrol denganku, parahnya lagi, teman sebangkuku mencekoki pikiranku dengan kalimat : " Vian suka kamu lho."
Sial. Dan gara-gara itu, sekarang aku yang suka dengannya.How Stupid.

" eby " aku dengar suara Vian memanggilku sambil menggoyang-goyang lenganku. Sungguh aku malas menengadah.

"By, PR Bahas Indonesia cuma rangkuman artikel aja kan?" Tanyanya

"Mmm" jawabku malas.
Kepalaku masih kubenamkan dalam lipatan tanganku diatas meja

" Aku belom selesai," sahutnya.
" So what?" Balasku

Vian tidak menyahut lagi. Aku mengintip lewat celah antara lipatan tangaku dan poniku. Dia sudah pergi rupanya.

" Aduhhhh," suara seorang gadis mengagetkanku dari belakang. Rupanya Dewi, satu-satunya orang yang tahu tentang perasaanku terhadap Vian.

"One step closser? " ucapnya.
Aku hanya tersenyum
" Dia mah biasanya juga begitu kok." Kataku
" Fighting" ucapnya seraya mengepalkan tangan. Aku tersenyum lagi.
Aku tertarik
Awalnya menarik.
Namu kini hatiku berbisik.
Dia menyejukkan bagai hujan rintik.

Kelas sedang sepi siang itu, sebagian besar pergi shalat di mushollah sekolah dan sebagian lagi pergi kekantin. Aku tidak shalat, karna aku nasrani dan kebetulan aku malas kekantin, sungguh, aku malas bergerak. Akupun mencuri tas Vian, dan membuatnya sebagai bantalku. Entah kenapa tasnya selalu enak dipakai tidur.

Kukatupkan mataku, mencoba meresapi.
" Eby? Tidur?"
Sontak aku bangun saat mendengarkan suara Vian.
" Lanjutin aja, tas aku enak yah?" Ujarnya. Aku hanya tersenyum lagi dan lagi.

Pelajaran ekonomi, pelajaran yang luar biasa membuat ngantuk. Dari pada mendengar penjelasan guru yang ngaro ngidul, aku memilih untuk mengobrol dengan teman sebangkuku.

" eh by, aku mau cerita, tapi maaf ya sebelumnya, " ujarnya.
" Ternyata aku salah." Dia mulai berbisik. " Ternyata Vian sukanya bukan sama kamu."
"Hah?"
" Kemarin aku kan pulang sore, terus aku ngeliat Vian masih disekolah. Ternyata dia nungguin Dewi, terus nganter Dewi pulang. Kayaknya bener deh mereka saling suka."

How it can be...
" Aku udah tau kok," ujarku bohong.
"Bener kan? Dari awal udah kubilang, Vian nggak mungkin suka sama aku." Lagi lagi aku hanya bisa tersenyum.

Kini aku sadar, semuanya salah.
Namun apa daya, hanya bisa pasrah.
Tak mampu berkata-kata lagi, cukup sudah.
Aku kalah.

Kenapa? Kenapa harus Dewi? Mungkin kalau orang lain aku masih bisa terima, tapi ini Dewi! Hanya Dewi yang tahu perasaanku terhadap Vian, dan sekarang? Hatiku remuk, sulit di percaya. Dewi dan Vian saling suka?? Aah.. Kenapa aku tidak menyadarinya? Mereka memang dekat sekali, namun aku tidak memerhatikan hal itu. Dan Dewi kenapa nggak bilang dari awal kalau dia juga suka sama Vian? Mungkin kalau dia jujur, aku nggak akan sesakit ini.

" Eby, soal nomor tiga pakai cara yang mana?" Vian tiba- tiba menengok kebelakang dan bertanya.
" Cari aja, di LKS kan ada, yan.." jawabku sekenanya

Cukup sudah, aku salah, aku kalah, aku pasrah. Aku takkan mungkin membenci mereka berdua, terutama Dewi. Aku nggak punya alasan untuk membenci Vian, dan aku sungguh tak bisa membenci Dewi. Dewi sudah seperti saudaraku, dan mustahil bagiku untuk menutup hatiku begitu saja. Tidak, aku takkan menangis, aku tahu mereka memang sudah seharusnya terikat.

Aku tak pernah mengharapkanku balasanmu.
Karena cukup bagiku memandang hangatnya senyummu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar