Pagi yang dingin. Angin semilir
membelai rambutku dan menggelitik tengkukku. Rasanya aku tak ingin lepas dari
selimutku,namun apa daya, kewajibanku sebagai pelajar menuntutku untuk bergegas
ke sekolah.
Sesampainya di gerbang sekolahku,
aku kembali menyeret kakiku, berjalan lurus lalu belok kanan menuju koridor.
Melihat perpustakaan dikanan koridor membuatku ingat akan buku sejarah yang
belum kukembalikan. Aku terus berjalan menyusuri koridor, dan sampailah aku di
depan kelasku. Tepat di sebrang musholla sekolah.
" Selamat pagi " ucapku
seraya memasuki kelas
" Selamat pagi juga eby
"
ucap elisa yang duduk di atas meja terdepan barisan
paling kanan dengan riang. Kubalas dengan senyum simpul
Aku menghampiri tempat dudukku
dengan memaki jaketku. Kondisi dinding kelas ini kelas XI IPS-1 agak lembab,
mungkin itu yang menyebabkan hawa kelas ini menjadi dingin. Aku melipat
tanganku di atas meja dan membenamkan kepalaku disana. Walaupun hawanya dingin,
aku merasa aliran darah disekitar wajahku mendidih. Aku paling benci kalau dia
bersikap seperti itu. Sikapnya yang sangat menyebalkan, sok baik, sok keren,
sok dekat, dan sikapnya itu menimbulkan kesalahpahaman terbesar. Ya, dia Vian.
Dia suka padaku
Parah. Bagaimana bisa aku berpikir
seperti itu? Habis, dianya bersikap begitu, mentang-mentang tempat dudukku
dibelakangnya, dia jadi sering mengobrol denganku, parahnya lagi, teman
sebangkuku mencekoki pikiranku dengan kalimat : " Vian suka kamu lho."
Sial. Dan gara-gara itu, sekarang aku yang suka dengannya.How
Stupid.
" eby " aku dengar suara
Vian memanggilku sambil menggoyang-goyang lenganku. Sungguh aku malas menengadah.
"By, PR Bahas Indonesia cuma
rangkuman artikel aja kan?" Tanyanya
"Mmm" jawabku malas.
Kepalaku masih kubenamkan dalam lipatan tanganku diatas meja
" Aku belom selesai," sahutnya.
" So what?" Balasku
Vian tidak menyahut lagi. Aku
mengintip lewat celah antara lipatan tangaku dan poniku. Dia sudah pergi
rupanya.
" Aduhhhh," suara
seorang gadis mengagetkanku dari belakang. Rupanya Dewi, satu-satunya orang
yang tahu tentang perasaanku terhadap Vian.
"One step closser? " ucapnya.
Aku hanya tersenyum
" Dia mah biasanya juga
begitu kok." Kataku
" Fighting" ucapnya
seraya mengepalkan tangan. Aku tersenyum lagi.
Aku tertarik
Awalnya menarik.
Namu kini hatiku berbisik.
Dia menyejukkan bagai hujan rintik.
Kelas sedang sepi siang itu, sebagian
besar pergi shalat di mushollah sekolah dan sebagian lagi pergi kekantin. Aku
tidak shalat, karna aku nasrani dan kebetulan aku malas kekantin, sungguh, aku
malas bergerak. Akupun mencuri tas Vian, dan membuatnya sebagai bantalku. Entah
kenapa tasnya selalu enak dipakai tidur.
Kukatupkan mataku, mencoba
meresapi.
" Eby? Tidur?"
Sontak aku bangun saat mendengarkan suara Vian.
" Lanjutin aja, tas aku enak
yah?" Ujarnya. Aku hanya tersenyum lagi dan lagi.
Pelajaran ekonomi, pelajaran yang
luar biasa membuat ngantuk. Dari pada mendengar penjelasan guru yang ngaro
ngidul, aku memilih untuk mengobrol dengan teman sebangkuku.
" eh by, aku mau cerita, tapi
maaf ya sebelumnya, " ujarnya.
" Ternyata aku salah."
Dia mulai berbisik. " Ternyata Vian sukanya bukan sama kamu."
"Hah?"
" Kemarin aku kan pulang
sore, terus aku ngeliat Vian masih disekolah. Ternyata dia nungguin Dewi, terus
nganter Dewi pulang. Kayaknya bener deh mereka saling suka."
How it can be...
" Aku udah tau kok,"
ujarku bohong.
"Bener kan? Dari awal udah
kubilang, Vian nggak mungkin suka sama aku." Lagi lagi aku hanya bisa
tersenyum.
Kini aku sadar, semuanya salah.
Namun apa daya, hanya bisa pasrah.
Tak mampu berkata-kata lagi, cukup sudah.
Aku kalah.
Kenapa? Kenapa harus Dewi? Mungkin
kalau orang lain aku masih bisa terima, tapi ini Dewi! Hanya Dewi yang tahu
perasaanku terhadap Vian, dan sekarang? Hatiku remuk, sulit di percaya. Dewi
dan Vian saling suka?? Aah.. Kenapa aku tidak menyadarinya? Mereka memang dekat
sekali, namun aku tidak memerhatikan hal itu. Dan Dewi kenapa nggak bilang dari
awal kalau dia juga suka sama Vian? Mungkin kalau dia jujur, aku nggak akan
sesakit ini.
" Eby, soal nomor tiga pakai
cara yang mana?" Vian tiba- tiba menengok kebelakang dan bertanya.
" Cari aja, di LKS kan ada,
yan.." jawabku sekenanya
Cukup sudah, aku salah, aku kalah,
aku pasrah. Aku takkan mungkin membenci mereka berdua, terutama Dewi. Aku nggak
punya alasan untuk membenci Vian, dan aku sungguh tak bisa membenci Dewi. Dewi
sudah seperti saudaraku, dan mustahil bagiku untuk menutup hatiku begitu saja.
Tidak, aku takkan menangis, aku tahu mereka memang sudah seharusnya terikat.
Aku tak pernah mengharapkanku balasanmu.
Karena cukup bagiku memandang hangatnya senyummu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar