Judul : PENYELESAIAN
SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM INVESTASI PERDAGANGAN
Pengarang : Soemali, SH.,
MHum.f
Lidia Noor Yulyanti
Sumber : http://ejournal.narotama.ac.id/files/04%20Jurnal%20Hukum-April%202010%20_SOEMALI_.pdf
UPAYA HUKUM PARA PIHAK YANG MENOLAK PUTUSAN
ARBITRASE
Di atas telah dijelaskan bahwa
arbitrase diatur dalam Rv., sebagai satu-satunya aturan arbitrase yang berlaku
umum pada masa pendudukan Hindia Belanda sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia, hingga
dikeluarkannya Undang-undang No. 30 tahun
1999 ini.
Sebagaimana telah disinggung pada
uraian terdahulu bahwa keberadaan lembaga arbitrase diatur dalam RV mulai Pasal 615
sampai dengan Pasal 651. Pasal 615 ayat (1) Rv. menguraikan: “Adalah diperkenankan kepada
siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa
yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuaaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan
sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa
orang wasit.” Kemudian dalam ayat (3) Pasal 615 ayat (3) Rv. ditentukan : “Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri
satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul
dikemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit.” Ketentuan
tersebut jelas bahwa setiap orang atau pihak yang bersengketa berhak untuk menyerahkan
penyelesaian sengketa mereka kepada seorang
atau beberapa orang arbiter, yang akan memutuskan sengketa mereka tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang
dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa
berhak untuk melakukan penunjukkan itu setelah
ataupun sebelum sengketa terjadi, dilakukan dengan pencantuman klausula arbitrase
dalam perjanjian pokok mereka (Pactum De Kompromitendo). Sedangkan penunjukan
arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan
dengan membuat persetujuan arbitrase sendiri (Akta Compromis).
Sehubungan dengan macam-macam arbitrase,
secara umum dalam praktek dikenal dua
macam arbitrase dalam praktek, yaitu :
1. Arbitrase
Ad-Hoc (Volunter Arbitrase);
2. Arbitrase
Institusional (Lembaga Arbitrase).
Arbitrase ad-hoc atau volunter arbitrasesifatnya
tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus
dan menyelesaikan suatu kasus sengketa
tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad
hocinipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Arbiter yang menanganai penyelesaian sengketa ini ditentukan dan
dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa;
demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu
penyelesaiann sengketa tidak memiliki bentuk
yang baku. Hanya saja dalam pemilihan dan penentuan tidak boleh
menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh
undang-undang.
BATAS WAKTU PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI LEMBAGA
ARBITRASE
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
memberikan maksimum jangka waktu
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam waktu
180 (seratus delapan puluh) hari
terhitung sejak arbiter atau majelis arbitrase
tersebut. Selain itu Undang-undang juga melahirkan tanggung jawab perdata bagi
arbiter atau majelis arbitrase atas pemenuhan perjanjian penyelesaian sengketa
diantara arbiter atau majelis arbitrase trersebut denga para pihak yang
bersengketa.
Putusan arbiter merupakan putusan
yang mengikat para pihak dan dengan melalui tatacara (prosedur) yang sederhana
saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Karena para arbitrator ditunjuk oleh
masing-masing pihak yang bersengketa, maka logisnya putusan arbitrator harus
ditaati oleh kedua belah pihak. Jika salah satu pihak tidak mau tunduk pada
putusan tersebut, maka ia menjadi pihak yang melakukan wanprestasi. Putusan
arbitrase adalah putusan terakhir, termasuk dalam kesepakatan kedua belah,
bahwa putusan wasit maupun putusan terakhir, jadi tidak ada banding atau kasasi,
sesuai dengan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa putusan arbitrase bersifat final
dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam hal para pihak
tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan
perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa
(Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999).
Terhadap putusan Arbitrase
Internasional diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik
Indonesia, namun penyelesaiannya harus melalui lembaga ICSID dan putusan
arbitrase internasional tersebut harus ditempuh dengan syarat-syarat bahwa,
putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan
Putusan Arbitrase Internasional, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana
dimaksud dalam huruf a
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, putusan Arbitrase Internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas
pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertibann umum, putusan Arbitrase
Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur
dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan Putusan Arbitrase Internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia
sebagai salah satu pihak dalam sengketa,
hanya dapat dilaksanakan segelah memperoleh
eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999):
Permohonan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus disertai dengan: lembar asli atau salinan otentik Putusan
Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing,
dan naskah terjemahann resminya dalam Bahasa Indonesia, lembar asli atau
salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar
Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen
asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia, keterangan dari
perwakilan diplomatik Republik di negara tempat Putusann Arbitrase
Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat
pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara
Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional, (Pasal 68 UU No. 33 Tahun 1999).
Terhadap putusan arbitrase para
pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur seagai berikut surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaann, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat
yang dilakukann oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa sebagaimana
Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan
Negeri sebagaimana Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999. Permohonan pembatalan putusan
arbitrase harus diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri. Apabila permohonan
dikabulkan, ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan
seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Putusan atas permohonan pembatalan
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak permohonan diterima. Terhadap putusan Pengadilann Negeri dapat
diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan
permohonan banding dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan
banding tersebut diterima oleh Mahkamah
Agung sesuai dengan Pasal 172 UU No. 30 Tahun 1999.
Berdasarkan uraian dan pembahasan
sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa putusan arbitrase sifatnya
final, namun jika dengan putusan tersebut ada pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan pembatalan atas keputusan arbitrase tersebut. Permohonan
pembatalan atas putusan arbitrase diajukan kepada Pengadilan Negeri pada daerah
hukum di mana para pihak tersebut bersengketa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar