Jumat, 03 Mei 2013

Postingan 3


Judul                  : PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM INVESTASI PERDAGANGAN
Pengarang          : Soemali, SH., MHum.f
                            Lidia Noor Yulyanti
Sumber              : http://ejournal.narotama.ac.id/files/04%20Jurnal%20Hukum-April%202010%20_SOEMALI_.pdf

UPAYA HUKUM PARA PIHAK YANG MENOLAK PUTUSAN ARBITRASE
Di atas telah dijelaskan bahwa arbitrase diatur dalam Rv., sebagai satu-satunya aturan arbitrase yang berlaku umum pada masa pendudukan Hindia Belanda sampai  masa kemerdekaan Republik Indonesia, hingga dikeluarkannya Undang-undang No. 30  tahun 1999 ini.
Sebagaimana telah disinggung pada uraian terdahulu bahwa keberadaan lembaga  arbitrase diatur dalam RV mulai Pasal 615 sampai dengan Pasal 651. Pasal 615 ayat (1)  Rv. menguraikan: “Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu  sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuaaannya untuk  melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau  beberapa orang wasit.” Kemudian dalam ayat (3) Pasal 615 ayat (3) Rv. ditentukan :  “Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit.” Ketentuan tersebut jelas bahwa setiap orang atau pihak  yang bersengketa berhak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada  seorang atau beberapa orang arbiter, yang akan memutuskan sengketa mereka tersebut  menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa. Para pihak yang bersengketa berhak untuk melakukan penunjukkan itu  setelah ataupun sebelum sengketa terjadi, dilakukan dengan pencantuman klausula arbitrase dalam perjanjian pokok mereka (Pactum De Kompromitendo). Sedangkan penunjukan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan dengan membuat persetujuan arbitrase sendiri (Akta Compromis).
 Sehubungan dengan macam-macam arbitrase, secara umum dalam praktek  dikenal dua macam arbitrase dalam praktek, yaitu :
1.  Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase);
2.  Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase).
Arbitrase ad-hoc atau volunter arbitrasesifatnya tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus  sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hocinipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Arbiter yang menanganai  penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang  bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan  penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaiann sengketa tidak memiliki  bentuk yang baku. Hanya saja dalam pemilihan dan penentuan tidak boleh
menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.

BATAS WAKTU PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI LEMBAGA ARBITRASE
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 memberikan maksimum jangka waktu
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari
terhitung sejak arbiter atau majelis arbitrase tersebut. Selain itu Undang-undang juga melahirkan tanggung jawab perdata bagi arbiter atau majelis arbitrase atas pemenuhan perjanjian penyelesaian sengketa diantara arbiter atau majelis arbitrase trersebut denga para pihak yang bersengketa.
Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tatacara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Karena para arbitrator ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa, maka logisnya putusan arbitrator harus ditaati oleh kedua belah pihak. Jika salah satu pihak tidak mau tunduk pada putusan tersebut, maka ia menjadi pihak yang melakukan wanprestasi. Putusan arbitrase adalah putusan terakhir, termasuk dalam kesepakatan kedua belah, bahwa putusan wasit maupun putusan terakhir, jadi tidak ada banding atau kasasi, sesuai dengan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999).
Terhadap putusan Arbitrase Internasional diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, namun penyelesaiannya harus melalui lembaga ICSID dan putusan arbitrase internasional tersebut harus ditempuh dengan syarat-syarat bahwa, putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertibann umum, putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa,
hanya dapat dilaksanakan segelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999):
Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan: lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahann resminya dalam Bahasa Indonesia, lembar asli atau
salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia, keterangan dari perwakilan diplomatik Republik di negara tempat Putusann Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional, (Pasal 68 UU No. 33 Tahun 1999).
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur seagai berikut surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaann, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukann oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa sebagaimana Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri sebagaimana Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri. Apabila permohonan dikabulkan, ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima. Terhadap putusan Pengadilann Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah
Agung sesuai dengan Pasal 172 UU No. 30 Tahun 1999.
Berdasarkan uraian dan pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa putusan arbitrase sifatnya final, namun jika dengan putusan tersebut ada pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan atas keputusan arbitrase tersebut. Permohonan pembatalan atas putusan arbitrase diajukan kepada Pengadilan Negeri pada daerah hukum di mana para pihak tersebut bersengketa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar